Senin, 08 Maret 2021
Senin, 18 Januari 2021
Kepemimpinan Guru dalam Falsafah Jawa
Oleh : Dr. Mohib Asrori, S.Pd.I,
MSI
Kriteria figur pemimpin yang
tangguh dan ideal adalah sangat banyak dan komplek sekali. Namun dalam
eksplikasi singkat dan sederhana ini hanya membatasi pada sebagian paparan
kepemimipinan dalam falsafah Jawa. Seorang pemimpin dimungkinkan akan dapat
melaksanakan tugas kepemimpinannya dengan baik, manakala dalam tugas dan
kehidupannya sehari-hari menerapkan dan melaksanakan ”Dasa Ma atau Dasa M” (10
M) yaitu :
1. Manembah
Seorang pemimpin harus beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, beribadah menurut agama dan
keyakinan yang dianutnya.
2. Momong
Seorang pemimpin harus selalu
bertindak dan bersikap ”ing ngarso sung tulodho”, selain membina, membimbing
dan mengarahkan, juga harus memberi suri tauladan lewat sikap dan perbuatan
serta pola panutan bagi yang dipimpin. ”Ing madyo mangun karsa”, berada di
tengah-tengah bergairah memberi semangat, dorongan (motivasi) untuk berswakarsa
dan berkreasi kepada yang dipimpinnya. ”Tut wuri handayani”, memberi pengaruh
dan dorongan dari belakang kepada yang dipimpin, agar berani berjalan dan
tampil di depan dan sanggup serta berani bertanggungjawab.
3.Momot
Seorang pemimpin harus bersifat
sabar dan tahan uji dalam menghadapi masalah. Peribahasa ”guru bengawan weteng
segoro”, artinya harus mampu menyerap informasi, petuah-petuah, kritik dan
saran yang bersifat membangun. Bersikap lapang dada bila dicela, dan tidak
menjadi tinggi hati bila disanjung. Dengan kata lain peka terhadap aspirasi
baik dari bawahan ataupun atasan. Tidak ”waton maido” (asal mencela), namun
bila terpaksa demi perbaikan dan pembinaan ”maido mowo waton” (mencela dengan
dasar dan memberi alternatif jalan keluarnya).
4. Momor
Seorang pemimpin harus mampu
”manjing ajer-ajer”, (mampu berdaptasi) baik dalam hubungan vertikal maupun
horisontal. Ia harus terbuka terhadap suatu perubahan dan pembaharuan, sesuai
dengan perkembangan zaman (dinamis). Namun demikian tidak boleh gegabah dan
harus berhati-hati dalam menentukan dan mengambil keputusan serta sanggup
berpendapat dan bertindak secara demokratis dalam berorientasi ke masa depan,
dengan cakrawala pandang yang tidak sempit melainkan komprehensif.
5. Mursid
Seorang pemimpin harus ”landep
penggraitone” (tajam pemikirannya dan berpandangan luas ke masa depan), tetapi ”ora
cengkah karo jejering kautaman” (tidak menyimpang dari budi pekerti luhur dan
utama). Dengan kata lain, seorang pemimpin tidak boleh memiliki kepribadian
tercela, baik dipandang dari segi agama, norma maupun etika moral.
6. Murokapi
Seorang pemimpin keberadaan dan
kehadirannya benar-benar dibutuhkan dan bermakna bagi yang dipimpin. Dengan
kesadaran sepenuhnya, bahwa kedudukan, posisi maupun jabatan yang dibebankan
kepadanya benar-benar diperoleh atas dasar penghargaan prestasi kerja.
Loyalitas maupun kepercayaan dari masyarakat atau atasannya yang berwenang,
sehingga atas dasar kepercayaan yang diterima, diharapkan dalam menjalankan
tugas yang diemban akan lebih mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan
pribadi ataupun golongan dan dalam mengambil keputusan ”ora mban cinde mban
ciladan” (dengan bijaksana bersikap adil berdasarkan ketentuan atau peraturan
yang berlaku).
7. Mapam
Seorang pemimpin harus memiliki
ketahanan mental dan ketahanan fisik yang kuat. Sarananya ”mugen telaten ing
pakaryan ora mangru tingal gebyaring kahanan” (tekun dan ulet dalam berkarya
dan bekerja, serta berpendidikan teguh). ”Temen lan tegen, ora mingkuh lan
pakewuh, berbudi bawa leksana, manunggaling tekad lan pakarti mangreh ing panca
ndriyo, lelandesan kawaspadan, teteken budi rahayu, pepayung ing kautaman”,
dimana seorang pemimpin harus mampu mengendalikan diri dengan sikap waspada,
berbudi pekerti luhur dan utama. ”Ora gumunan, ora kagetan lan ora umug” yang
pengertiannya tidak mudah terpesona, tidak mudah terkejut, tetapi tanggap
terhadap hal yang baru dan tidak menyombongkan diri.
8. Mituhu
Seorang pemimpin harus memiliki
loyalitas yang tinggi terhadap Pancasila, UUD 1945, Peraturan Perundangan yang
berlaku, atasannya, tugas dan pekerjaannya dengan penuh tanggungjawab.
Dengan berjiwa ”legawa”, ia akan
loyal dan berdedikasi tinggi terhadap tugas yang diembannya dan bila saat
manakala tugas yang diemban berakhir dengan kesadaran, kemauan, kerelaan dan
ikhlas, akan menyerahkan tugas, tanggungjawab dan jabatan kepada generasi
berikutnya. Namun tidak menutup kemungkinan apabila masih merasa mampu dan
karena atas dasar kepercayaan dan keberhasilan, masih dibutuhkan tenaga dan
fikirannya, diharapkan tetap loyal dan bersedia walaupun mungkin atas dasar
pengalaman pahit dirasakan.
9. Mitayani
Seorang pemimpin bila ditinjau
dari segi kualitas dan kuantitasnya harus dapat dindalkan kemampuannya. Ia
harus dapat menjadi tempat berlindung maupun mengadu bawahannya atau yang
dipimpin. Dengan strategi ”ambeg parama art”, secara bijaksana dapat mengambil
keputusan menurut skala prioritas serta tepat dalam menjalankan tugasnya.
Dengan prinsip ”gemi, nastiti, surti lan ngati-ati”, maka dengan kesadaran akan
kemampuan untuk membatasi penggunaan dan pengeluaran segala sesuatu kepada yang
benar-benar diperlukan sesuai dengan skala prioritas, planning yang telah
dibuat.
10. Mumpuni
Seorang pemimpin harus memiliki
kemampuan lebih dari bawahannya. Boleh jadi mungkin kelebihan di bidang
pengalaman kerja atau prestasi maupun bidang lain. Dengan kelebihan seorang
pemimpin dituntut memiliki kemampuan prima. Untuk itu harus cerdik, tangkas dan
cekatan dalam berolah fikir. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dimiliki
bukannya untuk mempersulit masalah, tetapi untuk memecahkan suatu masalah
secara realistis dan obyektif.
Selain memiliki kemampuan tadi,
ia juga dituntut bersikap praktis, tanggap dan terampil serta dapat
mengaplikasikan lingkungan kerjanya sebagai pendukung tugas-tugas yang
dilaksanakan. Dengan demikian seorang pemimpin harus mencerminkan tingkat
kemahirannya maupun penguasaan displin ilmu yang dimiliki. Eksistensinya,
pemimpin yang ideal harus kharismatik. Sebagai sarana adalah ”ora mung rumongso
biso, nanging kudu biso rumongso” (jangan merasa bisa/ dapat, tetapi harus
bisa/ dapat merasakan). Wujud dampak positifnya, eksistensinya sebagai pemimpin
bukan ditakuti, melainkan disegani.
Kualitas prima seorang pemimpin
akan tampak menonjol, apabila dalam tugasnya ia mampu sebagai motivator yang
bersikap komunikatif, sarat dengan ide, penuh aktivitas dan kreativitas
positif.
Sebagai pemimpin yang ideal, ia
juga harus mampu mengintegrasikan fungsi administrasi, baik yang bersifat
operasional. Dengan mengintegrasikan kedua fungsi tersebut dimungkinkan antara
pelaksana bidang administrasi dengan realita dapat secara tepat dan sinkron,
sehingga data yang sebenarnya benar-benar akurat dan akan mempermudah dalam hal
peningkatan.
PENUTUP
Masih banyak kriteria sikap dan
tindakan yang harus dimiliki oleh figur pemimpin yang tangguh dan ideal. Tetapi
mungkinkah figur kepemimpinan seperti di atas benar-benar hadir di masa
sekarang? Jawabannya tentunya terpulang dan tergantung kepada pribadi kita
masing-masing.
Sebagai generasi penerus tentunya
kita merasa terpanggil untuk mewujudkannya. Menyongsong era globalisasi,
seiring pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi, tampilnya
tokoh panutan sangat diharapkan.
Eksistensi guru sesuai dengan
profesi pengabdiannya sebagai pengajar, pendidik dan melatih anak didik ke
tingkat kedewasaannya, mempunyai peranan penting dalam mewarisi nilai-nilai
kepemimpinan kepada anak didik. Untuk itu diperlukan sikap tanggap dalam hal
menanamkan nilai-nilai kepemimpinan dengan harapan bermunculan figur-figur
pemimpin tangguh, ideal, handal dan berkualitas.
Dengan demikian pengabdian para
”pahlawan tanpa tanda jasa” yang dilandasi niat dan tujuan baik yang dibarengi
dengan berbagai pemimpin yang siap dan mampu dan dapat melanjutkan perjuangan
bangsa melalui kegiatan pembangunan di segala bidang untuk meningkatkan kesejahteraan
kehidupan masyarakat.